Senin, 26 Maret 2012

MAHASISWA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL

Dasar Pikir Perguruan tinggi atau biasa disebut dengan Universitas dipandangi sebagai institusi independen, hal itu yang menguatkan pemahaman kita bahwa di dalamnya terisi oleh para intelektual bangsa dan calon-calon pemimpin masa depan yang mempunyai spesifikasi ilmu masing-masing, mahasiswa ekonomi, mahasiswa hukum, mahasiswa kimia, teknik, sastra dan sebagainya. Tuntutan atau tanggung jawab ilmu pengetahuan yang didapatkannya dari sebuah Perguruan tinggi membawa kita ke pertarungan sesungguhnya yaitu realitas. Proses pembelajaran di sekolah-sekolah maupun di universitas ditujukan untuk dapat menjawab tuntutan yang ada di masyarakat pada umumnya yakni melalui transformasi keilmuan dapat tercipta pemberdayaan masyarakat, partisipasi aktif dalam proses pembangunan dan peningkatan taraf hidup berbangsa dan bernegara. Tapi sepak terjang para alumni lingkungan akademis masih dapat dipertanyakan, apakah hasil dari proses pembelajaran di universitas atau hasil pengalaman yang dipercayakan secara legal? Sejauh mana ilmu-ilmu yang diterapkan dalam universitas dapat menyentuh realitas sosial yang ada?

Sejarah potret gerakan mahasiswa mulai dari angkatan 1908 hingga 2008 patut menjadi sebuah cerminan, wajar saya katakan bahwa “sejarah bangsa adalah sejarah kaum muda”, bukan berarti kaum tua tidak ikut ambil bagian dalam penentuan jatuh bangunnya bangsa Indonesia, tetapi realitas Historis dalam setiap perubahan yang terjadi di negeri ini tak lepas dari peran pemuda/mahasiswa di Garda depan (avant garde). Mulai dari Proklamasi sampai era Reformasi, mahasiswa selalu menorehkan tinta emas perubahannya. Oleh karenanya, pantas jika kemudian mahasiswa dijuluki agent of social change (agen perubahan sosial). Namun ditengah gegap gempitanya perubahan yang sedang, tengah dan akan terjadi di Indonesia nampaknya hanya sekedar “opera sabun reformasi” yang dipoleskan di beranda bangsa ini. Bagaimana tidak. Indonesia dari awal berdirinya tak lepas dari kontalasi politik global internasional . Kita bisa melihat bagaimana sejarah perang dunia II, Indonesia menjadi rebutan dari pihak-pihak yang sedang bertempur. Dan kini pihak AS, Inggris dan perusahaan asing lainnya telah menguasai aset-aset vital di Indonesia. Ini bisa dipahami sebagai pengulangan kolonialisme dari negara-negara kapitalis terhadap Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Nah, dimanakah posisi dan peran mahasiswa sekarang?

Sedikit Tentang Sejarah Pergerakan Mahasiswa 1908
Dalam sejarah modern Indonesia “Boedi Oetomo”, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA (School tot opleding van indische Artsen) dan dipelopori oleh Soetomo , wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual jebolan Stovia.
Pada kongres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.

Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota. Namun BU masih dipandang sebagai organisasi kerdill dan Hanya mampu menyelesaikan persoalan bangsa dibagian dipermukaan saja.

Setelah Boedi Utomo, mulai menjamurlah organisasi-organisasi modern di Indonesia. Serekat Prijaji (1905) setelah bubar berubah menjadi Serikat Dagang Islamiah (SDI) dengan basis utamnya kaum pedagang—yang kemudian berkembang menjadi SI dan dalam perkembangan selanjutnya sebagai embrio dari PKI. Sementara itu, 1912 dua mahasiswa lulusan Stovia, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta seorang Indo, Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia atau Indishe Partij (IP). Maka semakin maraklah organisasi-organisasi kebangsaan yang dipelopori oleh mahasiswa. Tidak ketinggal, mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang sekolah di Nederland Handelshogeschool pada tahun 1925 mendirikan Indsche Vereeniging dan untuk mempertegas spirit nasionalisme mereka mengubah nama menjadi “Perhimpunan Indonesia” (PI)—. PI sangat dipengaruhi oleh ideologi marxisme yang sedang naik daun di Eropa dan juga banyak melakukan diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia. Selain organisasi-organisasi ini, di Indonesia juga berkembang study-study club misalnya yang terdapat di Surabaya dan di Bandung. Study Club yang ada di Bandung kemudian berkembang menjadi Partai Nasionalis Indonesia (PNI)yang dipimpin oleh Soekarno.

Kehadiran Boedi Oetomo, Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.

Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia/1925) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.

Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.

Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI, dan menghasilkan trilogi kebangsaan; Satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Gerakan pemuda/mahasiswa kini telah mencapai dimana mereka telah menemukan suatu spirit persatuan dan kesatuan.
1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.

Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.

Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.
1966
Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, diantaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah partai-partai politik. Misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.

Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961.

Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.

Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan ’66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Akbar Tanjung, Cosmas Batubara Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, dll. Angkatan ’66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara . Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan ’66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabinet pemerintahan Orde Baru. di masa ini ada salah satu tokoh yang sangat idealis,yang sampai sekarang menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa yang idealis setelah masanya, dia adalah seorang aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini,dia adalah “Soe Hok Gie”.

1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti: Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang. Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.

Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan “Mahasiswa Menggugat” yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.

Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.

Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu “ganyang korupsi” sebagai salah satu tuntutan “Tritura Baru” disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.

1978
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.

Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
Era NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.

Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.

1998
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya “KKN” (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.
Gerakan Mahasiswa dan Skenario Kapitalisme Global.

“Mengaca Kepada Sejarah”
Mengaca dari gerakan mahasiswa angkatan ’66, diakui atau tidak, mahasiswa telah turut andil dalam penggulingan pemerintahan orde lama (ORLA) yang waktu itu mengeluarkan kebijakan yang berimbas pada melambungnya harga-harga sehingga menyebabkan kelaparan dimana-mana. Disamping itu, di daerah-daerah muncul gerakan memberontak yang menuntut berdirinya negara federal. Peran-peran itulah yang dimainkan secara jelas oleh Amerika dan sekutunya—meskipun tidak secara langsung—sebagai pengembangan sayap atas kekuatan kapitalis-imperialis yang mulai menyerang Indonesia saat itu . 

Skenario Amerika diatas praktis membuahkan aksi dari elemen-elemen mahasiswa yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) menuntut tiga buah opsi, yang kemudian dikenal dengan TRITURA (tiga tututan rakyat). Akibat yang kemudian timbul pasca aksi ini adalah runtuhnya pemerintahan ORLA digantikan dengan semangat orde baru.
Terlepas dari kondisi apapun pada waktu itu, namun gerakan mahasiswa ’66 diatas telah menjadi jelmaan dari kekuatan kapitalis-imperialis. Meskipun saya sadar bahwa sikap kritis mahsiswa merupakan lawan yang paling ampuh bagi setiap rezim atau penguasa. Namun kita telah “kecolongan” untuk selalu menuruti skenario Global internasional.

Rezim baru kemudian muncul dengan naiknya Soeharto. Rezim yang dikenal dengan orde baru ini bukan melawan kapitalis-imperialis, namun sebaliknya. “Gong” yang “dipukul” oleh rezim Soeharto ditandai sebagai mulai bercokolnya kapitalis-imperialis di bumi pertiwi ini. Terbukti dengan segera dikeluarkannya kebijakan penanaman modal asing di Indonesia melalui UU Nomor 02/1968 oleh pemerintahan Soeharto.
Jika dikaji secara seksama, rencana pembangunan ala orde baru adalah mengikuti tahapan sebagaimana teori pertumbuhan Rostow , meskipun dengan dalih pembuatan Trilogi Pembangungan. Namun yang terjadi adalah adanya ketergantungan Indonesia terhadap teknologi, industri dan sumber modal dari negara-negara asing. Posisi mahasiswa dalam hal ini tidak bisa berbuat banyak. Sikap kritis mereka tidak terfasilitasi karena masih awamnya mereka terhadap peta hubungan Indonesia-Barat.
Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak asing lain seperti Jepang yang sama-sama ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Gayungpun bersambut, Indonesia yang memandang Jepang sebagai negara berteknologi tinggi, akhirnya menyambut uluran tangan Jepang dengan senang hati. Praktis, kemudian banyak perusahaan Jepang yang enjoy menanamkan usahanya di Indonesia. Di sisi lain ketika kepentingan bangsa di uji dengan pertaruhan nyawa, para penguasa dan kelompok elit memanfaatkan situasi dan kondisi ini sebgai ajang memperkaya diri, golongan dan kelompokya.
Dengan dalih dan alasan apapun, perilaku sebagian kelompok elit/penguasa yang mengambil keuntungan (korupsi) dari kondisi demikian sangatlah merugikan rakyat kecil. Kuncinya, mau tak mau mahasiswa harus turun tangan menyelesaikan problem bangsa yang pelik. Gerakan ekstra parlementer yang menjadi andalan terlihat jelas saat aksi dengan pembacaan petisi 24 Oktober 1973. Puncaknya terjadi pada tanggal 15 januari 1974 (selanjutnya dikenal dengan peristiwa MALARI), dimana kelompok mahasiswa telah bergabung dengan komponen lain dan terjadi aksi pembakaran mobil, motor dan bangunan yang berbau Jepang.
Jika ditilik dari kacamata Internasional, dalam peristiwa ini pemerintah AS selalu melakukan berbagai macam cara untuk memelihara kepentingannya di Indonesia. Hal ini bisa dilihat ketika modal Jepang hampir mendominasi di Indonesia, dimana hal ini dianggap membahayakan kepentingan Amerika, dengan cepat Amerika memberikan peringatan melalui peristiwa MALARI. Indikasi ini terlihat pada beberapa tokoh mahasiswa pelaku peristiwa MALARI yang mendapatkan beasiswa di berbagai universitas terkemuka di AS setelah menjalani penahanan dan hukuman.
Lagi lagi mahasiswa mangalami “kecolongan” yang kedua. Independensi gerakan mahasiswa luntur hanya karena sebuah iming-iming beasiswa luar negeri.
Selanjutnya, peristiwa malari ini membawa dampak pemberian label “bahaya” terhadap setiap gerakan mahasiswa. Buahnya adalah UU No. 028/1978 (NKK/Normalisasi Kegiatan Kampus) dan UU No. 156/1979 (BKK/ Badan Koordinasi Kampus), yang intinya tentang peraturan yang membatasi dan menjauhkan mahasiswa dari keterlibatan aktifitas sosial-politik alias depolitisasi mahasiswa.
Posisi ini membuat gerakan mahasiswa menjadi adem ayem alias mandeg. Gerakan mahasiswa menjadi sangat terbatas. Dengan dalih stabilitas dan pembangunan, mahasiswa sebagai elemen kritis mahasiswa dibungkam dan di pasung.
Di akhir kepemimpinan Soeharto, mahasiswa malakukan hal yang sama seperti apa yang dialami Soekarno. Penumbangan rezim secara paksa sebagai cara untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Gerakan ini akhirnya mampu menggantikan tatanan pimpinan ORBA yang berkuasa selama 32 tahun. Yang kemudian secara euforia menggembar-gemborkan reformasi. Padahal jika dicermati, reformasi sendiri adalah bagian dari skenario kapitalisme global dunia internsional dalam mempertahankan kepentingannya di Indonesia. Yang disamping menggunakan strategi ekonomi, juga digunakan ekspansi wacana.
Pasca gerakan mahasiswa ’98, terjadi beberapa perubahan dalam bidang ekonomi maupun budaya. Akan tetapi perubahan itu tidak lepas dari kepentingan internasional.
Ketergantungan Indonesia pada dunia internasional sebagai akibat dari kebijakan ORBA yang membuka kran lebar bagi pemodal asing untuk menanamkan sahamnya di Indonesia, bahkan menguasai aset-aset penting Indonesia. Ditunjang pemerintahan Megawati saat ini yang cenderung stagnan, dengan tidak melakukan gerakan apapun demi menyelamatkan kepentingan rakyat.
Dan tampaknya kemandegan gerakan mahasiswa adalah akibat dari posisi mereka yang semakin “terjepit” dengan kekuatan-kekuatan internasional (kapitalis). Namun ada satu kekuatan yang dimiliki oleh mahasiswa yang sampai saat ini belum tertandingi, yakni sikap kritis untuk selalu melawan segala bentuk hegemoni kekuasaan suatu rezim. Posisi inilah yang penulis rasa bisa merubah dan membangunkan semangat mahasiswa yang sempat mandul dalam melakukan gerakan.

Akhirnya, kini mahasiswa mempunyai tugas untuk merumuskan gerakan-gerakan baru, mengingat posisinya sebagai agent of social change dengan melakukan protek dan memposisikan kapitalisme global sebagai musuh bersama (common enemy), karena dampak mendalam dari kapitalisme adalah menumpulnya gerakan mahasiswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar