Senin, 26 Maret 2012

SEJARAH POLRI

Zaman Hindia Belanda Kedudukan, tugas, fungsi, organisasi, hubungan dan tata cara kerja kepolisian pada zaman Hindia Belanda tentu diabdikan untuk kepentingan pemerintah kolonial. Sampai jatuhnya Hindia Belanda, kepolisian tidak pernah sepenuhnya di bawah Departemen Dalam Negeri. Di Departemen Dalam Negeri memang berkantor “Hoofd van de Dienst der Algemene Politie” yang hanya bertugas di bidang administrasi/pembinaan, seperti kepegawaian, pendidikan SPN (Sekolah Polisi Negeri di Sukabumi), dan perlengkapan kepolisian.
Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan padaprocureur generaal (jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie(polisi lapangan) , stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.
Sejalan dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak diperkenankan menjabat hood agent(bintara), inspekteur van politie, dan commisaris van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi. Demikian pula dalam praktek peradilan pidana terdapat perbedaan kandgerechtdan raad van justitie.
Zaman Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, pemerintahan kepolisan Jepang membagi Indonesia dalam dua lingkungan kekuasaan, yaitu:
1. Sumatera, Jawa, dan Madura dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang.
2. Indonesia bagian timur dan Kalimantan dikuasai Angkatan Laut Jepang.
Dalam masa ini banyak anggota kepolisian bangsa Indonesia menggantikan kedudukan dan kepangkatan bagi bangsa Belanda sebelumnya. Pusat kepolisian di Jakarta dinamakan keisatsu bu dan kepalanya disebut keisatsu elucho. Kepolisian untuk Jawa dan Madura juga berkedudukan di Jakarta, untuk Sumatera berkedudukan di Bukittinggi, Indonesia bagian timur berkedudukan di Makassar, dan Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin.
Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam praktek lebih berkuasa dari kepala polisi.
Beda dengan zaman Hindia Belanda yang menganut HIR, pada akhir masa pendudukan Jepang yang berwenang menyidik hanya polisi dan polisi juga memimpin organisasi yang disebut keibodan (semacam hansip).
Zaman Revolusi Fisik
Tidak lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka.
Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan kedudukan polisi sebagai Polisi Republik Indonesia menyusul dibentuknya Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Pada 29 September 1945 Presiden RI melantik Kepala Kepolisian RI (Kapolri) pertama Jenderal Polisi R.S. Soekanto. Adapun ikrar Polisi Istimewa tersebut berbunyi:
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menyatakan Poelisi Istimewa sebagai Poelisi Repoeblik Indonesia.”
Kepolisian Pasca Proklamasi
Setelah proklamasi, tentunya tidak mungkin mengganti peraturan perundang-undangan, karena masih diberlakukan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda, termasuk mengenai kepolisian, seperti tercantum dalam peraturan peralihan UUD 1945.
Tanggal 1 Juli 1946 dengan Ketetapan Pemerintah No. 11/SD/1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri. Semua fungsi kepolisian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Negara yang memimpin kepolisian di seluruh tanah air. Dengan demikian lahirlah Kepolisian Nasional Indonesia yang sampai hari ini diperingati sebagai Hari Bhayangkara.
Hal yang menarik, saat pembentukan Kepolisian Negara tahun 1946 adalah jumlah anggota Polri sudah mencapai 31.620 personel, sedang jumlah penduduk saat itu belum mencapai 60 juta jiwa. Dengan demikian “police population ratio” waktu itu sudah 1:500. (Pada 2001, dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, jumlah polisi hanya 170 ribu personel, atau 1:1.300)
Sebagai bangsa dan negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di samping bertugas sebagai penegak hukum juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI di Madiun, dan lain-lain.
Pada masa kabinet presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri.
Pada masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata organisasi kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember 148).
Zaman RIS
Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.
Umur RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150, organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif, organisatoris.
Zaman Demokrasi Parlementer
Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S. Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden.
Waktu kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.
Sampai periode ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai negeri berada di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya (mengacu standar PBB).
Dalam periode demokrasi parlementer ini perdana menteri dan kabinet berganti rata-rata kurang satu tahun. Polri yang otonom di bawah perdana menteri membenahi organisasi dan administrasi serta membangun laboratorium forensik, membangun Polisi Perairan (memiliki kapal polisi berukuran 500 ton) dan juga membangun Polisi Udara serta mengirim ratusan perwira Polri belajar ke luar negeri, terutama ke Amerika Serikat.
Zaman Demkrasi Terpimpin
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).
Waktu Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karir Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959.
Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.
Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU.
Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian Sebutan Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara. Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan sebagai berikut:
a. Alat Negara Penegak Hukum.
b. Koordinator Polsus.
c. Ikut serta dalam pertahanan.
d. Pembinaan Kamtibmas.
e. Kekaryaan.
f. Sebagai alat revolusi.
Berdasarkan Keppres No. 155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi Angkatan Perang dan Polri selama satu tahun di Magelang. Sementara di tahun 1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah besar karena politik NASAKOM Presiden Soekarno, dan PKI mulai menyusupi mempengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.
Zaman Orde Baru
Karena pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun 1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bindang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang.
Pada tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.
Pada HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi Kepala Staf Angkatan. Pada kesempatan tersebut anggota AL danAU memakai tanda TNI di kerah leher, sedangkan Polri memakai tanda Pol. Maksudnya untuk menegaskan perbedaan antara Angkatan Perang dan Polisi.
Zaman Reformasi
Adanya Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Reformasi telah melahirkan Inpres No. 2/1999 tanggal 1 April 1999 dalam era Presiden BJ Habibie yang memisahkan Polri dan TNI karena dirasakan memang terdapat perbedaan fungsi dan cara kerja dihadapkan dengan civil society. Untuk sementara, waktu itu, Polri masih diletakkan di bawah Menteri Pertahanan Keamanan. Akan tetapi, karena pada waktu itu Menteri dan Panglima TNI dijabat orang yang sama (Jenderal TNI Wiranto), maka praktis pemisahan tidak berjalan efektif.
Sementara peluang yang lain adalah Ketetapan MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang menetapkan secara nyata adanya pemisahan Polri dan TNI, yang selanjutnya diikuti pula oleh Ketetapan MPR No. VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri secara tegas.
Sementara itu, sebelum ketetapan-ketetapan tersebut di atas digulirkan, pada HUT Bhayangkara 1 Juli 2000 dikeluarkan Keppres No. 89/2000 yang melepaskan Polri dari Dephan dan menetapkan langsung Polri di bawah presiden.
Kendati Keppres ini sering disoroti sebagai bahaya karena Kepolisian akan digunakan sewenang-wenang oleh presiden, naun sesungguhnya ia masih bisa dikontrol oleh DPR dan LKN (Lembaga Kepolisian Nasinal) yang merupakan lembaga independen.
Adapun tantangan yang dihadapi Polri dewasa ini dan ke depan, terutama adalah perubahan paradigma pemolisian yang sesuai dengan paradigma baru penegakan hukum yang lebih persuasif di negara demokratis, di mana hukum dan polisi tidaklah tampil dengan mengumbar ancaman-ancaman hukum yang represif dan kadang kala menjebak rakyat, melainkan tampil lebih simpatik, ramah, dan familier.
Memberi peluang tumbuhnya dinamika masyarakat dalam menyelesaikan konfliknya sampai pada taraf tertentu. Memberi peluang berfungsi dan kuatnya pranata-pranata sosial dalam masyarakat seperti adanya perasaan malu, perasaan bersalah, dan perasaan takut bila ia melakukan penyimpangan, sehingga mendorong warga patuh pada hukum secara alamiah.

MAKNA DAN IDEOLOGI PUNK

Sejarah Punk
                Punk secara etimologis berasal dari bahasa Inggris, yaitu “Public United not Kindom”, kemudian disingkat menjadi P.U.N.K, atau dalam bahasa indonesia berarti sebuah kesatuan / komunitas di luar kerajaan/pemerintahan. Punk muncul pertama kali di Inggris pada tahun 60an, pada waktu itu punk hanya sebatas pemberontakan dibidang musik, meskipun akhirnya justru merambah sampai menjadi subkultur. Pada waktu itu musik di Inggris didominasi oleh kaum rocker, yang notabene memiliki skil yang tinggi dalam musikalitas, ritme melodi gitar yang rumit dan cepat, suara tinggi, serta syair cinta yang melankolis. Selain rock, aliran musik lain seperti jazz, pop, klasik juga ikut tenar. Punk kemudian muncul membawa semangat baru para remaja pecinta musik pada waktu itu,  yaitu kelompok musisi yang mengapresiasi music rock namun dengan keterbatasan skill dan permodalan. Ciri music punk adalah distorsi gitar yang tajam dengan beat drum yang cepat tak beraturan, musik punk juga dikenal dengan penggunaan acord yang simpel karena hanya terdiri dari 2-3 acord saja. Namun dalam setiap kali aksi panggung punk selalu menonjol karena karakternya yang atraktif, ugal-ugalan, bahkan brutal. pada setiap konser punk juga dikenal istilah moshing (penonton membentuk lingkaran kemudian saling membantingkan diri satu sama lain). Selain atraktif, punk juga dikenal dengan dandanan mereka yang nyentrik seperti potongan mohawk ala suku Indian (rambut dibuat seperti duri mendongak keatas), kaos bergambar tengkorak, jaket dengan berbagai macam assesoris bordir dan metal, gelak atau kalung besi, tubuh penuh tatto, sepatu boots, piercing, bahkan make up wajah seperti eye shadow dan lipstik hitam. Bagi mereka kostum tersebut merupakan simbol akan semangat punk yang identik dengan anti kemapanan, anarkisme, vandalisme, anti sosial, kriminal kelas rendah, dan kaum terabaikan.
                Ada masa dimana kominitas punk sulit dibedakan dengan kaum skinhead, meski memiliki semangat yang sama yaitu anti kemapanan dan kelas bawah, skinheadsebenarnya berbeda dengan punk. Skinhead merupakan subkultur yang lahir di London, Inggris berbarengan dengan punk, hanya saja skinhead lebih identik dengan potongan botak dan kelas pekerja yang rasis dan neo-Nazi, namun dalam bermusik gaya antara punk dan skinhead hampir sama, saat ini keduanya seakan-akan menyatu dalam ideologi yang sama.
                Dalam bermusik para punker (sebutan bagi komunitas punk) mengaburkan batas antara idealisme seni dan kenyataan hidup, sehingga kecenderungan mereka memprovokasi audiens secara terang-terangan, dengan perform kualitas rendah, mereka lebih mengedepankan aksi panggung yang penuh dengan kehebohan dan brutalitas. Hal tersebut karena adanya keyakinan bahwa penampilan fisik dan aksi panggung mereka adalah sebuah poin lebih dari komunitas punk. Lirik-lirik lagu punk selalu meneriakkan protes terhadap kejamnya dunia, kritik terhadap penguasa, rasa frustasi dan anti romantisme, hal tersebut karena dipicu oleh ketidak sukaan meraka terhadap para artis pada masa itu seperti Rolling Stones, Beatles, Elvis yang cenderung mengangkat tema-tema cinta yang sahdu dan menyayat hati.


                Meski berawal dari musik, punk sedikit demi sedikit berubah menjadi sebuah gaya hidup yang penuh dengan pandangan dan ideologi, hal tersbut dikarenakan adanya pengertian bahwa hebohnya penampilan (apperance/form) harus disertai dengan hebohnya pemikiran (idea/content). Musik-musik mereka penuh dengan pandangan sosial politik yang akhirnya terpatri dalam kehidupan mereka sehari-hari. Apalagi komunitas punk merupakan komunitas tertindas dari kalangan bawah, pada tahun 1970an pemerintah Inggris menetapkan pajak yang tinggi sehingga di negara tersebut marak dengan kemiskinan, kelaparan, kriminalitas dan kesenjangan sosial. Para punker akhirnya mulai merambah jalanan, mereka berjuang disisi yang selain musik yaitu dengan demo ataupun vandalisme yang ujungnya adalah sebuah kritik buat penguasa kerajaan Inggris. Karena komunitas punk semakin banyak dan mereka mulai merambah jalanan, maka lahirlah street punk (punk jalanan) atau komunitas punk yang menggelandang/hidup dijalanan. Street punk semakin meninggalkan semangat awal bermusik namun justru semakin mengarah ke gaya hidup yang berorientasi pada fashion dan dan kenakalan remaja.
                Pada tahun 1990an, saat media elektronik menjadi sangat maju keberadaan komunitas punk mulai tercium media dan disoroti secara tajam diseluruh dunia, tentu saja hal tersebut membuat punk semakin popoler sehingga menjadi sebuah subkultur yang mendunia. Pada masa itu juga punk mulai masuk ke wilayah asia termasuk indonesia, diawali di Bandung yang notabene adalah kota fashion, banyak remaja mulai berdandan ala punk dan turun kejalan-jalan untuk mengamen. Punk semakin banyak dari tahun ketahun karena adanya band-band punk yang sukses seperti Rancid[1]  dan Sex Pistols[2] . Keberadaan mereka yang mengglobal membuat punk menjadi trend diseluruh dunia, bahkan muncul pengimitasian gaya punk yang akhirnya melahirkan fashion punk, yaitu mengadaptasi gaya kostum punk tanpa menganut ideologinya.


                                 
Membaca makna fashion Punk
                Keberadaan band-band punk seperti Sex Pistols dan Rancid membuat demam fashion punk semakin banyak, gaya punk bahkan diadaptasi oleh band-band beraliran lain seperti heavy metal, rock dan trash. Pengimitasian gaya punk tentunya juga merambah Indonesia, karena banyak para remaja di sini yang mengidolakan band-band punk. Pengimitasian terjadi karena sifat remaja yang labil sehingga selalu mengadaptasi hal-hal yang mereka sukai, meski sebenarna mereka (kaum remaja) bukan seorang musisi, namun semangat dan gaya fashion punk sangat mempengaruhi kehidupan mereka.


                Apakah fashion punk mempunyai arti? Jawabanya adalah iya. Semiotika mempercayai segala hal yang ada di dunia ini mempunyai makna, tak terkecuali adalah fashion punk. Aart van Zoest dalam bukunya “Semiotik” (1978) mengatakan bahwa simbol dalam musik sangat jelas keberadaannya. Pengenalan jenis, sejarah dan gaya tergantung pada unsur-unsur simbolis dalam tanda komplek, yakni karya musik. Dengan demikian, penggunaan asesoris fashion pada pemusik termasuk dalam simbolitas musik karena berhubungan erat dengan gaya hidup dan sejarahnya.
Berikut adalah analisis makna setiap item ikonik dalam fashion punk :
ITEM
MAKNA
Rambut Mohawk
Rambut mohawk adalah rambut yang dibuat berbentuk seperti duri mendongak ke atas. Gaya ini merupakan adaptasi dari gaya suku indian kuni yang pada waktu itu bernama  mohican., posisi seperti menunjuk keatas, rambbut dibuat kaku sehingga tidak mudah layu. Maknanya sebuah perlawanan akan takdir Tuhan YME, para punk, merupakan gambaran kaum tertindas yang tidak terima dengan posisi mereka di masyarakat, punk menganggap strata mereka adalah “takdir” yang dapat dilawan dan mereka mampu megatasi takdir itu dengan bermusik
Jens ketat sobek
Jens ketat yang sobek bermakna sebuah himpitan dasyat dari lingkungan terhadap mereka. Manghalangi ruang gerak dan atraksi panggung mereka, oleh karena itu seringkali muncul robekkan pada lutut dan paha yaitu sebuah simbol tentang kemerdekaan gerak dan ide dari para punk
tatto
 Biasanya bergambar tengkorak, salip, api...tatto adalah simbol kekuasaan terhadap tubuh fisik. Mereka percaya lewat tatto mereka memiliki kekuasaan penuh terhadap tubuh. Selain itu tatto juga menyimbolkan cita rasa seni kaum menengah bawah
rantai
Rantai menyimbolkan sebuah kesatuan yang utuh diantara pa komunitas punk. Faktanya, kesatuan punk memang terkenal sangat solid, sering kali mereka terlihat secara bergerombal, berbagi rejeki dan tempat tidur secara bersama, bahkan diantara komunitas punk tidak ada diskriminasi berdasarkan SARA atau secara ekonomi
Piercing / tindik
Sama seperti tatto, piercing juga menyimbolkan kekuasaan atas tubuh, perlawanan terhadap penderitaan/rasa sakit dan mengontrol tubuhnya sendiri
Eye shadow
Eye syadow menyimbolkan cara pandang punk yg suram terhadap sekitarnya. Bagi punk, masa depan terlihat sangat suram dan kurang menjanjikan, seakan-akan mereka siap untuk menjadi kalangan terbawah sampai akhir hidup mereka
Sepatu boots
Sepatu boots biasa dipakai oleh prajurit agar bisa dipakai disegala medan, baik becek, berbatu, licin dan medan yang sulit lainya. Oleh karena itu boots menyimbolkan bahwa para punk akan siap menghadapi rintangan apapun termasuk hukum dan kesulitan secara ekonomi.

Dalam pemahaman teori dusta dari Umberto Eco, semiotika digunakan sebagai cara untuk berbohong, menurut Eco, apa yang bisa mengungkapkan kebohongan juga dapat digunakan sebagai pengungkap kebenaran. Demikian juga dalam fashion punk, asesoris punk banyak digunakan oleh para remaja untuk menutupi identitas dirinya sendiri, dengan memakai asesoris punk, mereka membohongi publik dengan menyatakan diri sebagai punker, padahal remaja yang menggunakan fashion punk belum tentu memahami ideologi punk. Bagi para imitator punk (sebutan bagi orang yang suka berdandan ala punk, namun tidak menjadi bagian dari komunitas punk), memakai asesoris punk tidak lebih dari lifestyle fashion, atau sebagai adaptasi visual semata. Dengan berdandan seperti punk mereka percaya kalu sedang mengikuti tren atau “necis” . yang dilakukan imitator punk adalah sedang memakai “sign” kemudian memaknai secara lain, inilah aplikasi dari teori dusta Umberto Eco.
Ideologi Punk
                Inti dari ideologi punk adalah pada motto “D.I.Y (Do It Your Self)”, motto ini begitu diyakini dan dihidupi oleh mereka layaknya sebuah ajaran agama. “Do It Your Self” artinya semua dapat dikerjakan sendiri, ideologi ini muncul karena sifat mereka yang anti sosial, mereka tidak mempercayai siapapun diluar komunitas punk, bahkan kecenderungan ideologi mereka selalu berkaitan dengan perlawanan terhadap kekuasaan/politik, anti sosial, minoritas, vandalisme, anti hukum, dan segala hal yang cenderung negatif. Namun dibalik ideologi tersebut sebenarnya ada juga kandungan yang positif, seperti pola hidup mandiri, berkarya (musik) meski dalam keterbatasan, Keberanian dalam mengaktualisasikan diri serta kepercayaan diri yang tinggi. Motto “Do It Yor Self” juga dipahami mereka untuk bertindak seenaknya, akhirnya dalam menyampaikan aspirasi komunitas punk sering melakukan hal-hal yang negatif seperti aksi vandalisme[3] . Mengingat sejarahnya yang kelam, ideologi punk sarat dengan hal-hal yang berbau pemberontakan/perlawanan, kebanyakan teraktualisasi menjadi suatu hal yang negatif, oleh karena itu punk sebenarnya dekat dengan kriminalitas, pengangguran, sex bebas, anarki, narkoba, revolusi, dan hal-hal negatif lainya.
                Fashion punk tentunya tidak mengikuti pemahaman dari motto D.I.Y, fashion punk  atau disebut juga imitator punk hanya memahami punk sebagai trend fashion saja. Mereka tidak mengadaptasi ideologi, namun hanya “punk sebagai tampilan”, atau dalam bahasa semiotika stuktural  Sausure terdapat istilah “Form” and “Content”. Form adalah tampilan sedang content adalah ideologi yang ada di dalamnya. Dalam kata lain fashion punk/imitator punk hanya mengadaptasi “form” bukan “content”nya.

PENDIDIKAN DAN PERAN MAHASISWA INDONESIA

Pendidikan adalah basis bagi sebuah negara untuk maju. Setidaknya itulah yang menjadi kekuatan tokoh – tokoh masa lalu dengan membangun bangsa ini dari pendidikannya. Ki Hajar Dewantara, Ahmad Dahlan berjuang membangkitkan dan mengeluarkan bangsa ini dari perjuangan pendidikannya. Pendidikanlah yang membuat martabat bangsa ni bisa naik menuju tahta tertinggi. Semangat pendidikan menjadikan sebuah bangsa maju dalam pencapaian dari berbagai bidang.

Coba kita ambil sebuah pelajaran dari kekaisaran Jepang yang begitu bagusnya mendidik masyarakat Jepang dengan system pendidikan yang belajar dari barat. Padahal jepang pada masa lalu sangat jauh tertinggal dibanding negara – negara Amerika dan Eropa namun semangat membangun pendidikan membuat Jepang negara yang mampu mengubah potensi sumber daya yang minim menjadi sebuah kekuatan baru didunia. Tak hanya kekuatan Ekonomi tapi berbagai bidang termasuk ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Jepang mampu berbicara banyak didunia dengan sumber daya manusia mereka yang terdidik sehingga mereka meskipun terpuruk seperti bencana tsunami atau gempa yang seing tejadi tak membuat mereka terlalu bergantung dengan negara – negara lain.

Inggris negara monarki yang berbentuk kerajaan yang kepala pemerintahannya dipimpin oleh perdana menteri suatu waktu pernah mengambil keputusan yang sangat mengejutkan. Mereka memotong anggaran militer negara hanya untuk menambah anggaran pendidikan. Mereka berani mengeluarkan dana yang banyak agar seluruh masyarakat mampu mendapat pendidikan yang layak hingga akhirnya Inggris menjadi negara yang cukup mapan sampai sekarang. Pendidikan menjadi sebuah syarat dalam berdirinya sebuah bangsa yang maju dalam menjawab tantangan masa depan.

Sekarang bagaimana dengan Indonesia ? Pendidikan kita sudahkah merata sampai ke seluruh elemen masyarakat ? dimana peran mahasiswa yang sebagai agent of change atau agen perubahannya Indonesia. Apakah kita sudah berbuat banyak dalam membantu tujuan pendidikan Indonesia ? ataukah kita hanya sibuk dengan urusan diri kita masing – masing sehingga lupa sebagai mahasiswa harus peduli dan bertindak dalam membangun pendidikan bangsa ini baik secara pendidikan formal maupun non-formal. Sudahkah kita menjadi penggedor masalah dalam arah pendidikan bangsa dan negara kita ini ?

Ada banyak hal yang menjadi masalah dari pendidikan di Indonesia. Sistemnya, penggunaan anggaran, tujuan pendidikan sampai dengan objek pendidikan itu sendiri tidak mampu menyentuh semua kalangan. Padahal kita tahu semua tahu anggaran pendidikan kita mencapai 20 persen APBN. Kemanakah uang itu digunakan karena kualitas pendidikan kita tidak maju – maju bahkan sering tejadi korupsi. Kemana ranah pendidikan kita ini ? apakah hanya fokus pada materi intelektualitas sedangkan ranah moral dan nilai kita jauh dari azas Ketuhanan itu sendiri.
Mahasiswa harus mampu memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Mahasiswa berjalan dalam koridor pendidikan itu sendiri harus sadar bahwa kita punya tanggung jawab besar dalam mengawal arah pendidikan bangsa, penggunaan dana pendidikan sampai memberikan pendidikan kepada ranah – ranah yang tidak bisa dijangkau oleh bagian pendidikan itu sendiri. Kita tidak akan pernah maju selama pendidikan kita terkung – kung oleh semangat hedonism yang kian merebak dalam tubuh pendidikan kita sendiri. Pendidikan bukan lagi wadah mencari ilmu yang selayaknya tapi pendidikan menjadi sebuah syarat mendapatkan pekerjaan semata.
Inilah yang menjadi tugas lembaga – lembaga mahasiswa sebagai penggerak dalam kancah pendidikan khususnya dikampus sendiri. Harus mampu member rangsangan positif agar seluruh mahasiswa memandang betapa pentingnya diri mereka dalam memajukan pendidikan bangsa dan negara ini dimulai dari membangun sistem pendidikan yang bekarakter dikampus kita sendiri. Sehingga mampu menjadikan mahasiswa benar – benar seorang agen perubah dari masa tak sadar pendidikan sampai mengerti betapa pendidikan itu perlu gerakan dari mahasiswa itu sendiri.
Sesungguhnya jika pengelolaan pendidikan bangsa ini bagus dimulai dari didekat kita sendiri yakni kampus kita maka semua akan menjadi baik. Kampus bukan lahan pencari materi dari mahasiswa – mahasiswanya tapi benar – benar mencetak orang – orang yang berhasil didunia dengan intelektual yang baik tapi juga spiritual dan emosional yang baik pula. Kampus harus menjadi pemberi output yang baik bagi masyarakat bukan pencetak orang – orang yang idealis yang pro hedonis tapi orang – orang yang membangun bangsa ini dengan semangat pro masyarakat karena mahasiswa adalah penerus – penerus bangsa ini dimasa depan.

MAHASISWA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL

Dasar Pikir Perguruan tinggi atau biasa disebut dengan Universitas dipandangi sebagai institusi independen, hal itu yang menguatkan pemahaman kita bahwa di dalamnya terisi oleh para intelektual bangsa dan calon-calon pemimpin masa depan yang mempunyai spesifikasi ilmu masing-masing, mahasiswa ekonomi, mahasiswa hukum, mahasiswa kimia, teknik, sastra dan sebagainya. Tuntutan atau tanggung jawab ilmu pengetahuan yang didapatkannya dari sebuah Perguruan tinggi membawa kita ke pertarungan sesungguhnya yaitu realitas. Proses pembelajaran di sekolah-sekolah maupun di universitas ditujukan untuk dapat menjawab tuntutan yang ada di masyarakat pada umumnya yakni melalui transformasi keilmuan dapat tercipta pemberdayaan masyarakat, partisipasi aktif dalam proses pembangunan dan peningkatan taraf hidup berbangsa dan bernegara. Tapi sepak terjang para alumni lingkungan akademis masih dapat dipertanyakan, apakah hasil dari proses pembelajaran di universitas atau hasil pengalaman yang dipercayakan secara legal? Sejauh mana ilmu-ilmu yang diterapkan dalam universitas dapat menyentuh realitas sosial yang ada?

Sejarah potret gerakan mahasiswa mulai dari angkatan 1908 hingga 2008 patut menjadi sebuah cerminan, wajar saya katakan bahwa “sejarah bangsa adalah sejarah kaum muda”, bukan berarti kaum tua tidak ikut ambil bagian dalam penentuan jatuh bangunnya bangsa Indonesia, tetapi realitas Historis dalam setiap perubahan yang terjadi di negeri ini tak lepas dari peran pemuda/mahasiswa di Garda depan (avant garde). Mulai dari Proklamasi sampai era Reformasi, mahasiswa selalu menorehkan tinta emas perubahannya. Oleh karenanya, pantas jika kemudian mahasiswa dijuluki agent of social change (agen perubahan sosial). Namun ditengah gegap gempitanya perubahan yang sedang, tengah dan akan terjadi di Indonesia nampaknya hanya sekedar “opera sabun reformasi” yang dipoleskan di beranda bangsa ini. Bagaimana tidak. Indonesia dari awal berdirinya tak lepas dari kontalasi politik global internasional . Kita bisa melihat bagaimana sejarah perang dunia II, Indonesia menjadi rebutan dari pihak-pihak yang sedang bertempur. Dan kini pihak AS, Inggris dan perusahaan asing lainnya telah menguasai aset-aset vital di Indonesia. Ini bisa dipahami sebagai pengulangan kolonialisme dari negara-negara kapitalis terhadap Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Nah, dimanakah posisi dan peran mahasiswa sekarang?

Sedikit Tentang Sejarah Pergerakan Mahasiswa 1908
Dalam sejarah modern Indonesia “Boedi Oetomo”, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA (School tot opleding van indische Artsen) dan dipelopori oleh Soetomo , wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual jebolan Stovia.
Pada kongres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.

Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota. Namun BU masih dipandang sebagai organisasi kerdill dan Hanya mampu menyelesaikan persoalan bangsa dibagian dipermukaan saja.

Setelah Boedi Utomo, mulai menjamurlah organisasi-organisasi modern di Indonesia. Serekat Prijaji (1905) setelah bubar berubah menjadi Serikat Dagang Islamiah (SDI) dengan basis utamnya kaum pedagang—yang kemudian berkembang menjadi SI dan dalam perkembangan selanjutnya sebagai embrio dari PKI. Sementara itu, 1912 dua mahasiswa lulusan Stovia, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta seorang Indo, Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia atau Indishe Partij (IP). Maka semakin maraklah organisasi-organisasi kebangsaan yang dipelopori oleh mahasiswa. Tidak ketinggal, mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang sekolah di Nederland Handelshogeschool pada tahun 1925 mendirikan Indsche Vereeniging dan untuk mempertegas spirit nasionalisme mereka mengubah nama menjadi “Perhimpunan Indonesia” (PI)—. PI sangat dipengaruhi oleh ideologi marxisme yang sedang naik daun di Eropa dan juga banyak melakukan diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia. Selain organisasi-organisasi ini, di Indonesia juga berkembang study-study club misalnya yang terdapat di Surabaya dan di Bandung. Study Club yang ada di Bandung kemudian berkembang menjadi Partai Nasionalis Indonesia (PNI)yang dipimpin oleh Soekarno.

Kehadiran Boedi Oetomo, Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.

Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia/1925) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.

Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.

Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI, dan menghasilkan trilogi kebangsaan; Satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Gerakan pemuda/mahasiswa kini telah mencapai dimana mereka telah menemukan suatu spirit persatuan dan kesatuan.
1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.

Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.

Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.
1966
Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, diantaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah partai-partai politik. Misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.

Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961.

Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.

Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan ’66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Akbar Tanjung, Cosmas Batubara Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, dll. Angkatan ’66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara . Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan ’66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabinet pemerintahan Orde Baru. di masa ini ada salah satu tokoh yang sangat idealis,yang sampai sekarang menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa yang idealis setelah masanya, dia adalah seorang aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini,dia adalah “Soe Hok Gie”.

1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti: Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang. Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.

Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan “Mahasiswa Menggugat” yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.

Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.

Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu “ganyang korupsi” sebagai salah satu tuntutan “Tritura Baru” disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.

1978
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.

Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
Era NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.

Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.

1998
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya “KKN” (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.
Gerakan Mahasiswa dan Skenario Kapitalisme Global.

“Mengaca Kepada Sejarah”
Mengaca dari gerakan mahasiswa angkatan ’66, diakui atau tidak, mahasiswa telah turut andil dalam penggulingan pemerintahan orde lama (ORLA) yang waktu itu mengeluarkan kebijakan yang berimbas pada melambungnya harga-harga sehingga menyebabkan kelaparan dimana-mana. Disamping itu, di daerah-daerah muncul gerakan memberontak yang menuntut berdirinya negara federal. Peran-peran itulah yang dimainkan secara jelas oleh Amerika dan sekutunya—meskipun tidak secara langsung—sebagai pengembangan sayap atas kekuatan kapitalis-imperialis yang mulai menyerang Indonesia saat itu . 

Skenario Amerika diatas praktis membuahkan aksi dari elemen-elemen mahasiswa yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) menuntut tiga buah opsi, yang kemudian dikenal dengan TRITURA (tiga tututan rakyat). Akibat yang kemudian timbul pasca aksi ini adalah runtuhnya pemerintahan ORLA digantikan dengan semangat orde baru.
Terlepas dari kondisi apapun pada waktu itu, namun gerakan mahasiswa ’66 diatas telah menjadi jelmaan dari kekuatan kapitalis-imperialis. Meskipun saya sadar bahwa sikap kritis mahsiswa merupakan lawan yang paling ampuh bagi setiap rezim atau penguasa. Namun kita telah “kecolongan” untuk selalu menuruti skenario Global internasional.

Rezim baru kemudian muncul dengan naiknya Soeharto. Rezim yang dikenal dengan orde baru ini bukan melawan kapitalis-imperialis, namun sebaliknya. “Gong” yang “dipukul” oleh rezim Soeharto ditandai sebagai mulai bercokolnya kapitalis-imperialis di bumi pertiwi ini. Terbukti dengan segera dikeluarkannya kebijakan penanaman modal asing di Indonesia melalui UU Nomor 02/1968 oleh pemerintahan Soeharto.
Jika dikaji secara seksama, rencana pembangunan ala orde baru adalah mengikuti tahapan sebagaimana teori pertumbuhan Rostow , meskipun dengan dalih pembuatan Trilogi Pembangungan. Namun yang terjadi adalah adanya ketergantungan Indonesia terhadap teknologi, industri dan sumber modal dari negara-negara asing. Posisi mahasiswa dalam hal ini tidak bisa berbuat banyak. Sikap kritis mereka tidak terfasilitasi karena masih awamnya mereka terhadap peta hubungan Indonesia-Barat.
Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak asing lain seperti Jepang yang sama-sama ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Gayungpun bersambut, Indonesia yang memandang Jepang sebagai negara berteknologi tinggi, akhirnya menyambut uluran tangan Jepang dengan senang hati. Praktis, kemudian banyak perusahaan Jepang yang enjoy menanamkan usahanya di Indonesia. Di sisi lain ketika kepentingan bangsa di uji dengan pertaruhan nyawa, para penguasa dan kelompok elit memanfaatkan situasi dan kondisi ini sebgai ajang memperkaya diri, golongan dan kelompokya.
Dengan dalih dan alasan apapun, perilaku sebagian kelompok elit/penguasa yang mengambil keuntungan (korupsi) dari kondisi demikian sangatlah merugikan rakyat kecil. Kuncinya, mau tak mau mahasiswa harus turun tangan menyelesaikan problem bangsa yang pelik. Gerakan ekstra parlementer yang menjadi andalan terlihat jelas saat aksi dengan pembacaan petisi 24 Oktober 1973. Puncaknya terjadi pada tanggal 15 januari 1974 (selanjutnya dikenal dengan peristiwa MALARI), dimana kelompok mahasiswa telah bergabung dengan komponen lain dan terjadi aksi pembakaran mobil, motor dan bangunan yang berbau Jepang.
Jika ditilik dari kacamata Internasional, dalam peristiwa ini pemerintah AS selalu melakukan berbagai macam cara untuk memelihara kepentingannya di Indonesia. Hal ini bisa dilihat ketika modal Jepang hampir mendominasi di Indonesia, dimana hal ini dianggap membahayakan kepentingan Amerika, dengan cepat Amerika memberikan peringatan melalui peristiwa MALARI. Indikasi ini terlihat pada beberapa tokoh mahasiswa pelaku peristiwa MALARI yang mendapatkan beasiswa di berbagai universitas terkemuka di AS setelah menjalani penahanan dan hukuman.
Lagi lagi mahasiswa mangalami “kecolongan” yang kedua. Independensi gerakan mahasiswa luntur hanya karena sebuah iming-iming beasiswa luar negeri.
Selanjutnya, peristiwa malari ini membawa dampak pemberian label “bahaya” terhadap setiap gerakan mahasiswa. Buahnya adalah UU No. 028/1978 (NKK/Normalisasi Kegiatan Kampus) dan UU No. 156/1979 (BKK/ Badan Koordinasi Kampus), yang intinya tentang peraturan yang membatasi dan menjauhkan mahasiswa dari keterlibatan aktifitas sosial-politik alias depolitisasi mahasiswa.
Posisi ini membuat gerakan mahasiswa menjadi adem ayem alias mandeg. Gerakan mahasiswa menjadi sangat terbatas. Dengan dalih stabilitas dan pembangunan, mahasiswa sebagai elemen kritis mahasiswa dibungkam dan di pasung.
Di akhir kepemimpinan Soeharto, mahasiswa malakukan hal yang sama seperti apa yang dialami Soekarno. Penumbangan rezim secara paksa sebagai cara untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Gerakan ini akhirnya mampu menggantikan tatanan pimpinan ORBA yang berkuasa selama 32 tahun. Yang kemudian secara euforia menggembar-gemborkan reformasi. Padahal jika dicermati, reformasi sendiri adalah bagian dari skenario kapitalisme global dunia internsional dalam mempertahankan kepentingannya di Indonesia. Yang disamping menggunakan strategi ekonomi, juga digunakan ekspansi wacana.
Pasca gerakan mahasiswa ’98, terjadi beberapa perubahan dalam bidang ekonomi maupun budaya. Akan tetapi perubahan itu tidak lepas dari kepentingan internasional.
Ketergantungan Indonesia pada dunia internasional sebagai akibat dari kebijakan ORBA yang membuka kran lebar bagi pemodal asing untuk menanamkan sahamnya di Indonesia, bahkan menguasai aset-aset penting Indonesia. Ditunjang pemerintahan Megawati saat ini yang cenderung stagnan, dengan tidak melakukan gerakan apapun demi menyelamatkan kepentingan rakyat.
Dan tampaknya kemandegan gerakan mahasiswa adalah akibat dari posisi mereka yang semakin “terjepit” dengan kekuatan-kekuatan internasional (kapitalis). Namun ada satu kekuatan yang dimiliki oleh mahasiswa yang sampai saat ini belum tertandingi, yakni sikap kritis untuk selalu melawan segala bentuk hegemoni kekuasaan suatu rezim. Posisi inilah yang penulis rasa bisa merubah dan membangunkan semangat mahasiswa yang sempat mandul dalam melakukan gerakan.

Akhirnya, kini mahasiswa mempunyai tugas untuk merumuskan gerakan-gerakan baru, mengingat posisinya sebagai agent of social change dengan melakukan protek dan memposisikan kapitalisme global sebagai musuh bersama (common enemy), karena dampak mendalam dari kapitalisme adalah menumpulnya gerakan mahasiswa.